Keinginannya yang besar untuk lepas dari bayang-bayang kemiskinan membuat Miduk pergi meninggalkan kampungnya dan mencoba peruntungannya di sebuah terminal.
"Saya melihat di tempat mobil-mobil parkir, banyak orang yang hanya minta-minta uang. Dalam hati saya hanya bisa berkata, kapan saya bisa masuk ke sana?" ujar Miduk.
Demi memperoleh rupiah, Miduk pun mencoba bergaul dengan para preman di pangkalan tersebut. Uang yang ia peroleh pun ia habiskan untuk memuaskan keinginannya. Ketika uang dan mihnuman kerasnya habis, supir angkot pun menjadi korban kebengisannya. Kalau supir angkot itu menolak memberikan uang hasil kerja keras mereka, tanpa kenal belas kasihan Miduk akan memukul supir angkot tersebut sampai babak belur.
Belum puas dengan mabuk-mabukan, hasrat Miduk untuk dipuaskan oleh wanita pun mulai tak terbendung. Setiap malam Miduk memuaskan nafsunya dengan bergonta-ganti wanita. Satu malam saja ia tidak berjumpa dengan seorang wanita, hati Miduk akan gelisah. Bahkan untuk sekedar tidur pun tak dapat dilakukannya.
Sampai suatu hari Miduk diajak bergabung oleh kerabatnya untuk melakukan kegiatan yang berbahaya. Ia diajak merampok. Mau tak mau Miduk harus menerima pekerjaan itu karena sudah seminggu ia menumpang di tempat komplotan perampok tersebut dan diberi makan. Pertama kali melakukan perampokan, Miduk gemetar dan berkeringat karena ketakutan. Namun setelah 2-3 kali melakukan, semua perasaan takut itu hilang lenyap. Dan aksi-aksi selanjutnya dilakukannya dengan kepala dingin.
Suatu hari Miduk bertemu dengan seorang gadis. Dan setelah berhubungan beberapa lama, mereka pun memutuskan untuk tinggal bersama. Akibat hubungan terlarang itu, beberapa bulan kemudian sang gadis pun berbadan dua.
"Ketika saat itu dinyatakan positif hamil, saya benar-benar tidak tahu lagi apa yang harus saya lakukan," ujar Nurmita br Tumanggor, teman hidup Miduk.
"Saat itu daripada harus menanggung malu, kami pun ada niat untuk menggugurkannya," tambah Miduk.
Meskipun Nurmita menolak untuk menggugurkan kandungannya, tanpa berperasaan Miduk memaksa Nurmita untuk meminum berbagai macam obat dan melakukan pemijatan. Tapi janin yang dikandungnya tak kunjung gugur.
Akhirnya demi menjaga nama baik keluarga, Miduk pun menikahi Nurmita. Dan setelah menikah, Nurmita begitu terkejut ketika mengetahui Miduk sesungguhnya adalah seorang perampok. Begitu mengetahui hal itu, Nurmita pun mencoba menasehati Miduk untuk tidak melakukan hal itu, apalagi hasil yang diperolehnya tidak halal. Tapi nasehat istrinya hanya bagaikan angin lalu di telinga Miduk. Bahkan bentakan dan makian kasar terlontar dari mulut Miduk kepada istrinya. Tamparan dan perlakuan kasar selalu ditujukannya terhadap sang istri. Kalau sudah dikasari seperti itu, Nurmita hanya bisa diam dengan hati yang hancur.
Miduk sama sekali tidak mempedulikan nasehat istrinya. Ia bahkan mulai berani bergaul dengan wanita-wanita penghibur. Hingga suatu hari Miduk melakukan suatu tindakan yang tak pantas terhadap istrinya. Ia menendang Nurmita tanpa belas kasihan. Hati Nurmita benar-benar hancur atas kelakuan suaminya. Keinginan untuk pergi meninggalkan Miduk begitu kuat di hatinya, tapi pikiran akan nasib anak-anak mereka membuat Nurmita bertahan.
Nurmita benar-benar harus mengurut dada melihat sikap Miduk yang kian hari kian menggila. Semakin hari tindakan Miduk semakin memalukan.
"Saking mabuknya, di depan mama saya Miduk kencing di dekat lemari. Sampai-sampai anak tertua kami pun mengetahui bagaimana kelakuan ayahnya yang memalukan itu. Saya benar-benar merasa kesal dengan kelakuannya itu tapi saya tidak bisa berkata apa-apa," kisah Nurmita dengan hati pedih.
Melihat suaminya yang bagaikan kuda liar yang tak terkendali, Nurmita hanya bisa pasrah kepada Tuhan. Setiap jam 12 malam Nurmita bangun dan berdoa untuk Miduk agar suaminya berubah. Respon Miduk terhadap doa-doa istrinya sangat jauh dari positif.
"Waktu saya sedang tiduran, saya merasa terganggu dengan doa istri saya. Saat itu juga saya malah bicara pada istri saya, ‘Kamu itu berdoa seperti hanya kamu saja yang paling benar.' Meskipun waktu itu saya melihat dia menangis, tidak ada niat dalam hati saya menghiburnya. Saya malah terus memarahi dia," ujar Miduk.
Akhirnya Miduk pun berhenti merampok dan ia mencoba menjadi supir angkot. Namun darah panas Miduk seakan tak mau berhenti bergejolak. Suatu hari terjadi perang mulut yang sengit antara Miduk dengan supir angkot lainnya. Dan sebuah rencana busuk pun terbersit dalam pikiran Miduk.
Miduk pulang ke rumah dan mengambil sebuah pisau serta mengasahnya. Setelah itu ia bergegas menemui supir angkot yang telah membakar hatinya. Setelah bertemu, Miduk langsung menghujamkan pisau ke dadanya dan melarikan diri. Supir angkot itu jatuh tak berdaya. Meskipun berhasil lari, Miduk masih diselimuti oleh kemarahan yang tak terkendali. Saking tidak puas karena musuhnya tidak mati, darah yang meleleh di pisau itu dijilati oleh Miduk.
Miduk mencari tempat persembunyian dan mencari istrinya untuk memberitahu apa yan baru saja ia alami.
"Saking kesalnya melihat kelakuannya yang seperti itu, saya malah bilang, ‘Daripada orang kamu tusuk, lebih baik saya kamu tusuk. Kamu tidak kasihan dengan anak-anak!'. Dan perkataan saya itu hanya membuat dia terdiam," ujar Nurmita.
Setelah merasa aman, Miduk pun kembali pulang ke rumah. Beberapa waktu kemudian Miduk membawa keluarganya pindah. Tak lama kemudian seorang teman datang dan memberikan pernyataan yang membuat Miduk tersentak. Ia meminta Miduk untuk bertobat. Mendengar perkataan itu, Miduk pun gemetar. Ia diliputi ketakutan yang sangat hanya karena perkataan pertobatan itu. Ucapan temannya itu benar-benar membuat Miduk mengalami kegelisahan yang hebat pada malam harinya. Miduk pun pindah ke kamar lain. Ia menggelar tikar dan duduk di situ. Sambil duduk bersila, Miduk hanya bisa menangis. Dalam pikirannya saat itu, hanya ada perasaan untuk bertobat.
Rasa keingintahuan Miduk untuk menemukan jalan keluar atas kegelisahannya, membuat dirinya mengikuti sebuah pertemuan ibadah. Dan perkataan dari seorang pembicara menyentuh hati Miduk.
"Kita dilarang untuk berzinah, tidak berbuat jahat, dan perkataan inilah yang langsung saya renungkan. Ketika sang pembicara itu melihat saya menangis, pembicara itu hanya berkata, ‘Pak, tidak ada artinya kalau Anda menangis. Anda akan ada artinya kalau Anda bertobat.' Begitu saya mendengar perkataannya itu, saya renungkan lagi akan pertobatan. Yang ada dalam pikiran saya hanya apa yang sudah pernah saya lakukan. Saya benar-benar merasa tidak layak. Saya hanya bisa memohon agar Tuhan yang melayakkan saya. Sampai saya pun hanya bisa menangis di hadapan Tuhan," kisah Miduk akan awal pertobatannya.
Miduk benar-benar mengalami kelegaan yang sempurna. Ia pun meminta maaf terhadap istri dan anaknya atas apa yang telah ia lakukan.
"Setelah kami sudah membereskan semua luka emosional itu, saya merasa beban yang selama ini saya bawa ketika saya bandel langsung lepas," ujar Miduk.
"Setelah saya mengampuni suami saya, saya benar-benar merasa lega. Tidak ada lagi beban yang saya rasakan," ujar Nurmita menambahkan.
Akhirnya Miduk pun mengalami terobosan dalam hidupnya. Dan sebuah babak baru dalam kehidupan rumah tangganya dimulai.