Mangontang Siahaan dilahirkan di suatu kota kecil pada tanggal 21 Maret 1964 di Pematang Siantar, Sumatera Utara dan merupakan anak kesepuluh dari dua belas bersaudara. Sejak kecil Mangontang sudah mendapat disiplin dan didikan yang keras dan anak yang taat pada orang tua terutama kepada ayahnya. Pada waktu itu ayahnya selalu mengajarkan untuk setiap minggu beribadah dan berserah kepada Tuhan. Tetapi pada tanggal 14 Desember 1979 di mana sang ayah dipanggil Tuhan di usianya yang ke-80, Mangontang merasa terpukul dan sangat kehilangan karena dia sangat dekat dengan ayahnya.
Kedatangan Tamu Misterius
Hal yang tidak pernah diduga sebelumnya oleh keluarga Mangontang. Seorang pria misterius datang dalam kehidupan mereka. Pria tersebut adalah adik ibunya yang datang dari Aceh dan sudah 20 tahun lebih tidak pernah ada komunikasi dengan keluarganya. Pamannya itu adalah seorang muslim sejak berumur 14 tahun dan sudah naik haji..
Saat itu pamannya menginap di rumah dalam jangka waktu yang cukup lama. Selama waktu itu, banyak orang sakit yang disembuhkan pamannya. Namun Mangontang tidak pernah tahu siapa pamannya itu. Sampai sebuah kejadian mistik terlihat olehnya. Paman Mangontang yang telah kerasukan roh-roh jahat membuatnya berjalan merangkak dan meminta daun-daunan kepada Mangontang. Roh yang telah memasuki tubuh pamannya membuat dia melahap semua dedaunan tersebut. Mangontang baru sadar siapa sebenarnya pamannya.
“Saya lihat sendiri mata dia melotot dan semua gigi dia bukan seperti gigi manusia.” “Daun-daunan hanya untuk dimakan. Dan minumannya bukan air putih. Dia minta air yang dari ledeng. Dan waktu itu tunjuk-tunjuk jarinya ke saya terus.” “Paman saya cerita bahwa dia punya orang yang ini-ini...yang ini... Barulah kami tahu bahwa paman saya ini rupanya dukun.”
Kasih sayang yang besar tampak diperlihatkan pamannya kepada Mangontang. Di balik kasih sayangnya, ternyata ada tujuan terselubung.
“Saya pun sama dia tidur bersama. Dan dia terus-terus menyelimuti saya.” “Menurut paman saya ini, dia dari tiga kali menikah anaknya tetap satu. Jadi, supaya dua dia akan ambil anak dari kakaknya untuk jadi anaknya.”
Tapi ibu Mangontang tidak mengijinkannya. Paman Mangontang yang lain juga tidak mengijinkan untuk Mangontang dibawa pergi. Akibat keinginannya tidak terpenuhi, pamannya meninggalkan rumah Mangontang. Namun di sinilah Mangontang mulai mengalami penyakit yang aneh.
“Pada malam itu saya tiba-tiba kesurupan. Berguling-guling dan badan saya pun seperti papan. Tegang. Dan saya disuntik oleh kakak saya yang dokter supaya jangan berguling-guling lagi dan saya sadar.”
Hal yang anehpun terus dialami olehnya. Ketika ibunya membawakan nasi bungkus untuk keluarganya, Mangontang menghabiskan semua nasi bungkus itu sendirian.
“Mereka lihat saya makan semua makanan itu. Dan ibu pun mulai heran. Kok bisa habis semua? Dan anehnya saya makan itu bukan seperti orang makan seperti biasa. Kadang-kadang bisa seperti anjing, kadang-kadang bisa seperti burung, tapi kakak saya waktu itu mengatakan ‘Ah, ini dibuat-buat dia’”
Akibat menderita penyakit aneh tersebut, Mangontang harus mengkonsumsi obat seumur hidupnya.
“Kakak saya yang dokter kasih saya obat untuk epilepsi. Karena dia bilang ini epilepsi. Biasanya itu terasa sama saya penyakitnya datang jam 5-6 sore atau jam 4-5 pagi.”
Mangontang terus menderita penyakit aneh tersebut bahkan sampa dia menikah. Tetty Tobing, istrinya menceritakan pengalaman itu.
“Waktu kejadian itu, dia mengerang. Saya panik, saya teriak terus kita bawa ke rumah sakit.” “Sebelum sampai di rumah sakit dia sudah sadar. ‘Ngapain saya kok dibawa kesini. Ga ada apa-apa kok’ katanya gitu. Ya sudah, saya bawa pulang lagi.”
Tidak pernah ada harapan untuk sembuh dalam diri Mangontang. Penyakit yang aneh itu terus menggerogoti hidupnya. Memang akhirnya kuasa roh yang membuat Mangontang seperti menderita suatu penyakit aneh itu menguasai Mangontang sampai 20 tahun. Dan ini membuat hidupnya semakin hancur. Bukan hanya dia yang susah, tapi seluruh keluarganya. Orang-orang di sekitarnya merasakan penderitaan dan kesusahan yang terus-menerus.
Bagi Mangontang, tidak ada lagi yang bisa dilakukannya selain berdoa.
“Tuhan lindungi saya. Kalau memang ada kesalahanku, kalau memang saya ada makan sesuatu atau melakukan sesuatu, atau dari keluargaku, atau dari orang tuaku.” “Tapi penyakit itu sekali dalam seminggu atau sekali dalam sebulanlah kalau saya rata-ratakan, penyakit itu pasti ada kambuh.”
31 Juli 2001
Mangontang tidak pernah menyangka dalam keadaan yang baik-baik saja ketika pulang kerja, suatu peristiwa yang paling mengerikan akan dialaminya. Istrinya menceritakan pengalaman mengerikan tersebut.
“Suami saya matanya merah luar biasa. Kayaknya bukan dia. Kayak ada kemasukan sesuatu. Dengan buru-burunya suami saya ini diangkat. Pertama-tama dengan dua satpam yang ada di depan rumah tapi tidak bisa diangkat juga. Akhirnya satpam kerahkan teman-temannya sampai ada tujuh orang.”
Satpam yang tengah membantunya tetap tidak bisa mengangkatnya. Akhirnya Mangontang diseret menuju ke mobil.
“Kakinya sudah kaku. Nafasnya sudah tidak ada lagi. Sudah kaku tangannya. Mukanya sudah biru.”
Mangontang akhirnya dibawa ke rumah sakit. Kondisinya sangat kritis. Namun tiba-tiba dia sadar.
“Ada sepuluh orang perawat memegang tangannya tapi tidak bisa karena kuat sekali tenaganya. Jadi dia harus diikat tangannya, kayak tenaga dalam gitu, ada tenaga yang luar biasa kuatnya. Entah apa yang ada dalam tubuhnya.”
Melihat kondisi suaminya yang tidak ada harapan, sang istri hanya bisa berdoa.
“Tolong Tuhan, Tuhan Yesus, karena Kaulah Tuhanku, Engkau akan menolong saya dan Engkau akan memberikan mujizat kepada saya.”
Dua hari kemudian
Mangontang kembali sadar. Namun tampak sosok aneh terlihat pada wajah Mangontang.
“Dia bertanya ’Mana istri saya’ gitu. Terus saya datang ke dalam, ‘Kenapa kamu bawa saya ke sini’ katanya. Saya bilang, ‘Bapak kan sakit?’ Dia jawab, ‘Enggak, saya ga sakit. Buka tangan saya, kenapa diikat. Pulang, saya mau pulang’.”
Mangontang akhirnya dibawa pulang. Perilaku aneh kembali diperlihatkannya.
“Memang dia sadar tapi drastis sekali. Minum teh manis sepuluh gelas. Sama makan juga langsung tiga piring pada saat itu.”
Melalui informasi dari adik Mangontang, ternyata Mangontang menyimpan sebuah benda mistis pemberian pamannya berupa cincin. Adik Mangontang mengambil cincin itu dan membuangnya ke sungai.
“Jadi pada saat cincin dibuang, memang terjadi reaksi pada suami saya. Kumat lagi penyakitnya. Kami sudah berdoa, sudah kayak teriak-teriak memanggil-manggil Tuhan, ‘Oh Tuhan, tolong Tuhan, tolong suami saya’. Mertua saya bilang ‘Tolong anak saya Tuhan’. Dan malam itu tidak terjadi apa-apa karena kami berdoa terus.”
Seorang hamba Tuhan dipanggil untuk mendoakan Mangontang.
“’Kamu siapa?’ kata suami saya gitu. Dia bilang ‘Saya hamba Tuhan. Saya mau mendoakan kamu’. ‘Tidak, tidak usah’ tapi sambil matanya sudah merah begitu. Tapi hamba Tuhan itu langsung mendoakan. Suami saya sepertinya marah gitu, mukanya berubah seperti adik mertua saya, seperti omnya, pamannya suami saya. Mimiknya katanya seperti itu.”
Keluarga Mangontang sangat yakin dan percaya bahwa Tuhan Yesus sanggup melepaskan Mangontang dari keterikatannya akan roh jahat.
“Hamba Tuhan itu bertanya, ‘Bapak, saya mau tanya, Tuhan Yesus itu ada di mana sekarang?’ gitu”.
Mangontang pun berbagi cerita mengenai pengalaman tersebut.
“Nah di situ saya pertama-tama masih belum bisa jawab sampai pendeta itu bertanya pada saya tiga kali. ‘Yesus sekarang berada di mana?’ Lalu saya jawab, ‘Yesus ada di hati saya.’”
Untuk benar-benar terbebas dari kesurupan, semua jimat-jimat yang dimiliki ibunya hasil pemberian adiknya sendiri dibakar habis. Saat itu barulah Mangontang merasakan bahwa ia telah dipulihkan dari kesurupan yang dideritanya selama 20 tahun. Mangontang dan istrinya mengucap syukur kepada Tuhan.
“Sejak itu saya sehat, tidak ada lagi penyakit itu sampai sekarang. Ya, itu ada makna besar bagi keluarga kami. Kenapa? Disitulah kami benar-benar merasakan jamahan Tuhan dalam keluarga kami. Satu yang saya pegang dalam hidup saya, tanpa Yesus, tidak mungkin kita dapat melakukan sesuatu.”
“Puji Tuhan sejak kejadian itu sampai sekarang, sudah tidak pernah terjadi lagi.” |