Pernah suatu kali saya berkhotbah di suatu gereja yang penuh. Saya katakan waktu itu kepada jemaat yang berdiri,”Saudara, angkat tanganmu semua.” Kita semua tahu ada orang-orang yang rebah karena didorong oleh pendeta. Ditumpangi tangan, diusap-usap sambil didorong sedikit, sampai goyang dan rebah. Itu kedagingan. Menjadi tradisi atau ritual saja. Jadi sewaktu saya berdoa, wah rebah semua.
Tiba-tiba Tuhan berkata kepada saya,”Daud, ini bukan rebah dalam hadirat-Ku, tetapi karena tradisi.”
“Apa yang harus saya lakukan, Tuhan?”
“Jangan ada yang menopang mereka saat rebah.”
Biasanya usher akan sibuk berjaga di belakang jemaat, yang diperkirakan akan jatuh. Saya pikir, ada baiknya saya menguji ini suara Tuhan atau bukan.
“Kalian yang maju ke depan, perlu kalian tahu, usher-usher yang kadang memegangi dari belakang, saya minta tidak boleh ada yang memegangi; kalau ada yang rebah bukan dari Tuhan, benjol-benjol, jangan salahkan saya.” (Tidak ada yang rebah)
Yang ketiga, akhirnya Tuhan berbicara lagi dengan saya,
“Sekarang, engkau akan tahu hadirat-Ku yang sejati.”
Wah, langsung saya berkata,”Kalian semua yang ingin berdiri, berdirilah semua. Kalian yang ingin tetap duduk, duduklah.”(
Saya mau turun dari mimbar saat saya dengar bunyi orang berjatuhan. Saya bingung. Lho, pendetanya yang tadi ikut menumpangkan tangan, juga ikut rebah.
Saya katakan, jangan memasukkan unsur kedagingan dalam gerakan Tuhan. Kalau Tuhan memang mau rebahkan, orang-orang itu pasti akan rebah. Tetapi kalau Tuhan tidak rebahkan, dia tidak akan rebah selama tidak didorong dahinya. Sudah ditumpangi tangan, tidak usah didorong lagi.